Jumat, 27 Februari 2015

Konstructivisme dalam pembelajaran (created by : Lily Hayati )



KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN

I. Filsafat Konstruktivisme
1. Pengertian dan Ciri-Ciri Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang pertama kali dikemukakan oleh Giambatista Vico tahun 1710, ia adalah seorang sejarawan Italia yang mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ”Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu (Suparno, 1997:24).

Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005 :70) bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”.

Karli (2003:2) menyatakan konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interkasi dengan lingkungannya.

Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah
(1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial;
(2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar;
(3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah;
(4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.

Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut beberapa literatur yaitu :
1.Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya
2.Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia
3.Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman
4.Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain
5.Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah. (Yuleilawati, 2004 :54)

Sedangkan menurut Siroj (http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/43/rusdy-a-siroj.htm) ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah :
(1) Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
(2) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
(3) Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
(4) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
(5) Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
(6) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau belajar.


2. Macam-Macam Konstruktivisme
Konstruktivisme dibedakan dalam dua tradisi besar yaitu konstruktivisme psikologis (personal) dan sosial. Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu yang lebih personal (Piaget,1981:43) dan yang lebih sosial (Vygotsky); sedangkan konstruktivisme sosial berdiri sendiri (Kukla, 2003: 11-14) .

2.(a) Konstruktivisme personal
Piaget (Fosnot (ed), 1996: 13-14) menyoroti bagaimana anak-anak pelan-pelan membentuk skema pengetahuan, pengembangan skema dan mengubah skema. Ia menekankan bagaimana anak secara individual mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang dihadapinya. Ia menekankan bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi, baik secara sederhana maupun secara refleksif, dalam membentuk pengetahuannya. Tampak bahwa tekanan perhatian Piaget lebih keaktifan individu dalam membentuk pengetahuan. Bagi Piaget, pengetahuan lebih dibentuk oleh si anak itu sendiri yang sedang belajar daripada diajarkan oleh orang tua.
Konstruktivisme psikologis bercabang dua:
(1) yang lebih personal, individual, dan subjektif seperti Piaget dan para pengikutnya;
(2) yang lebih sosial seperti Vigotsky. Piaget menekankan aktivitas individual, lewat asimilasi dan akomodasi (Suparno, 1997: 31-32) dalam pembentukan pengetahuan; sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat dalam mengkonstruksi pengetahuan ilmiah (Mattews,1994:235-138). .

Dalam pandangan Piaget, pengetahuan dibentuk oleh anak lewat asimilasi dan akomodasi dalam proses yang terus menerus sampai ketika dewasa. Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, nilai-nilai ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Setiap orang selalu secara terus menerus mengembangkan proses asimiliasi. Proses asimilasi bersifat individual dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga pengertian orang berkembang.

Dalam proses pembentukan pengetahuan dapat terjadi seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman baru dengan skema yang telah dipunyai. Dalam keadaan seperti ini orang akan mengadakan akomodasi, yaitu
(1) membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru, atau
(2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.

Pandangan konstruktivisme personal sebenarnya mengandung kelemahan.
Menurut Glasersfeld (Suparno, 1997: 42) salah satu tokoh konstruktivisme personal, pengetahuan hanya ada di dalam “kepala” seseorang di mana ia harus membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman pribadinya. Menurut pendapat ini ilmu pengetahuan bersifat pribadi, hal ini berarti „realitas‟ bagi seseorang dibangun berdasarkan pengalaman pribadinya. Inilah salah satu sumber kritik terhadap konstruktivisme personal, dan karena pandangan yang demikian konstruktivisme personal sering dianggap menganut faham solipsisme.

Faham solipsisme berpendapat bahwa segala sesuatu hanya ada bila ada dalam pikiran atau dipikirkan (Sarkim, 2005: 155). Selain itu, solipsisme juga mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu dibangun secara individual. Pandangan ini memang sulit untuk menjelaskan bagaimana kita bisa memiliki pengetahuan bersama tentang sesuatu hal.

Persoalan lain yang juga mengundang kritik adalah pandangannya tentang ilmu pengetahuan yang berlawanan dengan pandangan tentang kebenaran yang bersifat korespondensi atau dikenal sebagai faham realisme (Kukla, 2003: 75-80). Aliran korespondensi berpandangan bahwa ilmu  pengetahuan merupakan representasi independen mengenai dunia, dan berkeyakinan bahwa kalimat-kalimat atau pernyataan-pernyataan yang kita buat dikatakan ”benar” bila dan hanya bila berkorespondensi dengan kenyataan (Sonny Keraf dkk, 2001: 66-67). Faham demikian tidak diakui oleh konstruktivisme personal. Sebaliknya konstruktivisme personal berpendapat bahwa pengetahuan itu apa yang dapat kita lakukan dengan dunia pengalaman kita, ilmu pengetahuan itu merupakan sarana untuk mendeskripsikan alam ini.



2. (b) Konstruktivisme sosial
Teori konstruktivisme di dalam bidang pendidikan terdiri dari dua aliran besar yaitu konstruktivisme sosial (KS) dan konstruktivisme personal (KP). Konstruktivisme sosial dan konstruktivisme personal sama-sama berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil rekayasa manusia sebagai individu. Akan tetapi keduanya memiliki perbedaan pandangan mengenai peranan individu dan masyarakat dalam proses pembentukan ilmu pengetahuan itu.

Pendukung konstruktivisme sosial berpendapat bahwa di samping individu, kelompok di mana individu berada, sangat menentukan proses pembentukan pengetahuan pada diri seseorang. Melalui komunikasi dengan komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan kepada orang lain sehingga pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan. Selain itu, melalui komunikasi seseorang memperoleh informasi atau pengetahuan baru dari masyarakatnya. Vygotsky menandaskan bahwa kematangan fungsi mental anak justru terjadi lewat proses kerjasama dengan orang lain, seperti dinyatakan oleh Newman (1993: 62) sebagai berikut: ” The maturation of the child’s higher mental functions occurs in this cooperative process, that is, it occurs through the adult’s assistance and participation ”.

Pandangan yang dianut oleh KS seperti dipaparkan di atas sangat berbeda dengan pandangan yang dianut oleh para pendukung KP. KP kadang kala dikenal sebagai konstruktivisme psikologis, yang memandang bahwa pembentukan pengetahuan adalah sepenuhnya persoalan individu. KP sangat menekankan pentingnya peranan individu dalam proses pembentukan ilmu pengetahuan (Suparno, 1997: 44)

Konstruktivisme sosial menekankan bahwa pembentukan ilmu pengetahuan merupakan hasil pembentukan individu bersama-sama dengan masyarakat sekitarnya. Bahkan Piaget menulis sebagai berikut (Fosnot (ed), 1996: 18):
there is no longer any need to choose between the primacy of the social or that of the intellect; the collective intellect is the social equilibrium resulting from the interplay of the operations that enter into all cooperation ”.


3. Konstruktivisme dan pengetahuan
Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan (knowledge) merupakan hasil konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar. Maksudnya setiap orang membentuk pengetahuannya sendiri. Kukla (2003: 39) secara tegas menyatakan bahwa sesungguhnya setiap orang adalah konstruktivis. Pengetahuan bukanlah “sesuatu yang sudah ada di sana” dan tinggal mengambilnya tetapi merupakan suatu bentukan terus menerus dari orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru (Fosnot (ed), 1996: 14)

Kaum konstruktivis b erpendapat bahwa pengetahuan bukan suatu yang sudah jadi, tetapi merupakan suatu proses menjadi (Suparno, 1997: 20). Misalnya, pengetahuan kita tentang “ayam”, mula-mula dibentuk sejak kita masih kecil ketemu pertama kali dengan ayam. Pengetahuan tentang ayam waktu kecil belum lengkap, tetapi lambat laun makin lengkap di saat kita makin banyak berinteraksi dengan ayam yang ternyata ada bermacam-macam jenisnya, tetapi semua disebut ayam.

Dalam proses itu, menurut Glasersfeld (Suparno, 1997: 20), diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut:
(1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman,
(2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan,
(3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain.

Menurut konstruktivisme (Suparno, 1997: 18) pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, konsep, nilai dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan.

Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang mengkonstruksi pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru. Pengetahuan entah itu berupa konsep, norma, nilai, dibentuk oleh akal budi dengan mengabstraksi fakta-fakta, pengalaman, kenyataan yang ada di sekitar manusia (Kukla, 2003: 12-24).

Piaget membedakan adanya tiga macam pengetahuan, yaitu pengetahuan fisis, matematis-logis, dan sosial (Suparno, 1997: 39-40). Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat fisis suatu objek, seperti bentuk, besar, berat dan bagaimana benda-benda itu berinteraksi.

Secara ringkas gagasan konsruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut (Suparno, 1997:21):
(1). Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
(2). Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
(3). Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

3. (a) Teori perubahan konsep
Menurut pendukung teori perubahan konsep, dalam proses belajar ada proses perubahan konsep yang mencakup dua tahap, yaitu tahap asimilasi dan akomodasi (Suparno, 1997: 50). Dengan asimilasi peserta didik menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan akomodasi peserta didik mengubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena baru yang mereka hadapi. Proses dalam akomodasi oleh kaum konstruktivis disebut sebagai perubahan konsep secara radikal.

Agar terjadi perubahan konsep secara radikal / akomodatif maka dibutuhkan keadaan dan syarat sebagai berikut (Suparno, 1997: 50-51):
(1). Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Peserta didik mengubah konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman, dan gejala yang baru.
(2). Konsep yang baru harus dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena yang baru.
(3). Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
(4). Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan penemuan yang baru.

Menurut kaum konstruktivis, salah satu penyebab terbesar ketidakpuasan terhadap konsep lama adalah adanya peristiwa anomali. Suatu peristiwa yang bertentangan dengan yang dipikirkan peserta didik. Suatu peristiwa di mana peserta didik tidak dapat mengasimilasikan pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Misalnya, bagi peserta didik yang berpikir bahwa ”kejujuran” bersifat mutlak (berlaku objektif dan universal), akan menjadi bingung ketika melihat seorang dokter ”berbohong” kepada pasiennya dengan mengatakan bahwa penyakitnya ”agak serius”, kendati kenyataannya sang pasien menderita sakit kangker sudah stadium 4 (kritis sekali), sudah ”amat kritis”. Seorang dokter ”bohong” (tidak jujur) merupakan peristiwa anomali bagi peserta didik tertentu. Peristiwa-peristiwa lain seperti itu akan menantang peserta didik untuk lebih berpikir dan mempersoalkan mengapa pikiran awal mereka tidak benar.

Banyak pendidik budi pekerti, moral, nilai ataupun agama menggunakan data anomali untuk memacu perubahan konsep pada peserta didik. Mereka menyediakan data-data, fakta-fakta dan peristiwa yang memberikan data berbeda dengan keyakinan anak atau prediksi anak. Harus diakui bahwa data anomali kadang kala gagal mendorong perubahan konsep karena para ilmuan dan peserta didik kadang menemukan cara untuk mengabaikan data-data atau fakta-fakta yang berlawanan tersebut.

Ada beberapa orang bereaksi terhadap data anomali :
(1) mengabaikan dan menolaknya,
(2) mengecualikan data itu dari teori yang telah ada,
(3) mengartikan kembali data itu,
(4) mengartikan kembali data itu dengan sedikit perubahan, dan
(5) menerima data itu serta mengubah teori atau konsep sebelumnya.


Vygotsky (Kukla, 2003: 6-10; Fosnot (ed), 1996: 18) membedakan dua macam konsep:
konsep spontan dan konsep ilmiah.
Konsep spontan diperoleh peserta didik dari kehidupan sehari-hari dan konsep ilmiah diperoleh dari pelajaran di sekolah. Perbedaan yang mencolok dari kedua konsep itu adalah ada atau tidak adanya sistem. Konsep spontan didasarkan pada kejadian khusus dan tidak merupakan bagian yang bertalian secara logis dari suatu sistem pemikiran, sedangkan konsep ilmiah disajikan sebagai bagian dari suatu sistem.

Konstruktivisme, yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh peserta didik yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep, yang menjelaskan bahwa peserta didik mengalami perubahan konsep terus menerus, sangat berperanan dalam menjelaskan mengapa seorang peserta didik bisa salah mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari.

3. (b) Teori skema
Teori skema berpendapat bahwa pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket informasi, atau skema, yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Skema adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu hal, menemukan jalan keluar, ataupun memecahkan persoalan. Orang harus mengisi atribut skemanya dengan informasi yang benar agar dapat membentuk kerangka pemikiran yang benar. Kerangka pemikiran inilah yang menurut Jonassen dkk.( Suparno,1997: 55), membentuk pengetahuan struktural seseorang, di mana pengetahuan struktural tersebut terdiri dari skema-skema yang dipunyai dan hubungan antara skema-skema itu.

Menurut teori skema, seseorang belajar dengan mengadakan restrukturisasi atas skema yang ada, baik dengan menambah maupun dengan mengganti skema itu. Ini mirip dengan konstruktivisme Piaget yang menggunakan asimilasi dan akomodasi. Perbedaannya adalah bahwa teori skema tidak menjelaskan proses pengetahuan, tetapi lebih bagaimana pengetahuan manusia itu tersimpan dan tersusun.



4. Hal-hal yang membatasi konstruksi pengetahuan
Yang membatasi proses konstruksi pengetahuan manusia antara lain:
(1) konstruksi kita yang lama,
(2) domain pengalaman kita,
(3) jaringan struktur kognitif kita (Suparno, 1997: 22).

Menurut konstruktivisme, pengalaman atas fenomena yang baru akan menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan kita; dan kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan kita pula. Misalnya, dalam bidang ilmu sosial, pengalaman kita berinteraksi dengan macam-macam masyarakat, budaya, nilai, norma, akan semakin mengembangkan ilmu tersebut; sedangkan keterbatasan dalam hal ini akan lebih merugikan.

5. Hubungan konstruktivisme dengan teori belajar
Garis besar pemikiran filsafat konstruktivisme (Suparno, 1997: 49) yang diambil manfaatnya untuk proses belajar peserta didik adalah:
(1). Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara personal maupun secara sosial;
(2). Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pendidik ke peserta didik, kecuali hanya dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar,
(3). Peserta didik aktif mengkontruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah,
(4). Pendidik sekadar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik berjalan mulus.

6. Pengaruh konstruktivisme terhadap proses dan makna belajar
6). (a) Makna belajar
Bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana peserta didik membangun sendiri pengetahuan, keterampilan dan tingkah lakunya. Peserta didik mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Peserta didik sendiri lah yang bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Mereka sendiri yang membuat penalaran dengan apa yang dipelajarinya, dengan cara mencari makna, membandingkan dengan apa yang telah ia ketahui dengan pengalaman dan situasi baru.

Proses belajar itu antara lain bercirikan sebagai berikut (Fosnot, 1989: 19-20;34-40):
(1). Belajar berarti membentuk makna. Proses pembentukan makna ini berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya melalui interaksi langsung dengan objek. Makna diciptakan oleh peserta didik dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
(2). Konstruksi terjadi lewat asimilasi dan atau akomodasi. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan asimilasi dan atau akomodasi.
(3). Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian (konsep) yang baru. Proses belajar adalah proses pengembangan pemahaman atau pemikiran dengan membuat pemahaman yang baru. Belajar itu meredifinisi pengetahuan, konsep lama menjadi pengertian ataupun konsep yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
(4). Hasil belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikirannya lebih lanjut. Situasi ketidak seimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
(5). Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman peserta didik dengan dunia fisik dan lingkungannya.
(6). Belajar akan bermakna jika terjadi melalui refleksi dan memecahkan konflik kognitif dan menggugat pengetahuan lamanya yang kurang sempurna.
(7). Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si peserta didik: konsep-konsep, nilai-nilai, tujuan, sikap dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.

Karena pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, maka kesempatan untuk belajar kelompok, diskusi, cooperative learning dapat dikembangkan. Menurut Glasersfeld, dalam belajar kelompok (Suparno,1997:63), peserta didik yang mengerjakan suatu persoalan secara bersama-sama, harus mengungkapkan bagaimana melihat persoalan tersebut dan apa yang ingin mereka buat dengan persoalan itu. Inilah salah satu cara menciptakan refleksi, yang menuntut kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan dan sedang dibuat. Selanjutnya hal tersebut akan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk secara aktif membuat abstraksi. Bagi peserta didik, menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawan dapat membantu untuk melihat sesuatu lebih jelas terutama inkonsistensi pandangan mereka sendiri. Seseorang yang diberi kesempatan untuk menjelaskan bahan pada seluruh kelas, biasanya terpacu untuk belajar lebih sungguh-sungguh.

6. (b) Implikasi konstruktivisme terhadap proses pembelajaran
Ada sejumlah implikasi yang relevan terhadap proses pembelajaran berdasarkan pemikiran konstruktivisme personal dan sosial. Implikasi itu antara lain (Suparno, 1997: 61-69):
(1). Kaum konstruktivis personal berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan terhadap realitas yang dihadapi dan bukan lewat akumulasi informasi. Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara langsung memberikan informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut. Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah menyediakan objek pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman hidup konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap, dll) untuk dijadikan objek pemaknaan.
(2). Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui (Mukminan,dkk., 1998: 44; Fosnot (ed), 1996: 18-20) sebagai zone of proximal development of knowledge.
(3). Terkait dengan kedua hal di atas, maka dalam proses pembelajaran seorang pendidik harus menciptakan pengalaman yang autentik dan alami secara sosial kultural untuk para peserta didiknya. Materi pembelajaran sungguh harus kontekstual, relevan dan diambil dari pengalaman sosio budaya setempat. Pendidik tidak dapat memaksakan suatu materi yang tidak terkait dengan kehidupan nyata peserta didik. Pemaksaan hanya akan menimbulkan penolakan atau menimbulkan kebosanan atau akan menghambat proses perkembangan pengetahuan peserta didik.
(4). Dalam proses pembelajaran pendidik harus memberi otonomi, kebebasan peserta didik untuk melakukan eksplorasi masalah dan pemecahannya secara individual dan kolektif, sehingga daya pikirnya dirangsang untuk secara optimal dapat aktif membentuk pengetahuan dan pemaknaan yang baru.
(5). Pendidik dalam proses pembelajaran harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif tingkat tinggi seperti mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan, memprediksi dan menyimpulkan, dll.
(6). Pendidik merancang tugas yang mendorong peserta didik untuk mencari pemecahan masalah secara individual dan kolektif sehingga meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi dalam mengembangkan pengetahuan dan rasa tanggungjaawab pribadi.
(7). Dalam proses pembelajaran, pendidik harus memberi peluang seluas-luasnya agar terjadi proses dialogis antara sesama peserta didik, dan antara peserta didik dengan pendidik, sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab bahwa pembentukan pengetahuan adalah tanggungjawab bersama. Caranya dengan memberi pertanyaan-pertanyaan, tugas-tugas yang terkait dengan topik tertentu, yang harus dipecahkan, didalami secara individual ataupun kolektif, kemudian diskusi kelompok, menulis , dialog dan presentasi di depan teman yang lain.

7. Pengaruh konstruktivisme terhadap proses mengajar
Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pendidik mempunyai peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik.


Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut (Suparno, 1997: 65-66):
(1). Menyediakan pengalaman belajar, yang memungkinkan pesera didik ikut bertanggungjawab dalam membuat design, proses dan penelitian. Maka menjadi jelas bahwa mengajar model ceramah bukanlah tugas utama seorang pendidik.
(2). Pendidik menyediakan pertanyaan-pertanyaan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mencari, membentuk pengetahuan, mengekspresikan gagasan, pendapat, sikap mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya.
(3). Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau tidak. Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya. Pendidik membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik.

Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pendidik perlu membiarkan peserta didik menemukan cara yang paling cocok dalam memecahkan persoalan. Peserta didik kadang suka mengambil jalan yang tidak konvensional untuk memecahkan suatu soal. Bila seorang pendidik tidak menghargai cara penemuan mereka, ini berarti menyalahi sejarah perkembangan ilmu, yang dimulai juga dari kesalahan. Sangat penting bahwa pendidik tidak mengajukan jawaban satu-satunya sebagai yang benar, terlebih dalam persoalan yang berdasarkan suatu pengalaman, seperti norma dan nilai sebagai dasar bertingkah laku.

Dalam sistem konstruktivisme, pendidik dituntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Pendidik perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan dari bahan yang mau diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam akan memungkinkan seorang pendidik menerima pandangan dan gagasan peserta didik yang berbeda dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan peserta didik itu benar atau tidak. Penguasaan bahan memungkinkan seorang pendidik mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai kepada suatu pemecahan persoalan dan tidak terpaku kepada satu model.

Kecuali menguasai bahan, pendidik sangat perlu mengerti konteks dari bahan itu, sehingga sangat penting untuk seorang pendidik, misalnya dosen pendidikan Pancasila, kecuali mengerti tentang isinya juga tahu bagaimana isi itu dalam perkembangan ilmu pengetahuan berperan. Pendidik juga perlu mengerti bagaimana pendidikan Pancasila itu berpengaruh terhadap teknologi dan masyarakat.

8. Konstruktivisme Dalam Pendidikan
1). Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka untuk belajar (Nur,2000: 2). Paradigma konstruktivisme memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru (Budiningsih, 2005:59).

Oleh karena itu agar pembelajaran lebih bermakna bagi siswa dan pendidik maka pendekatan konstruktivisme merupakan solusi yang baik untuk dapat diterapkan. Berikut akan dipaparkan perbedaan pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran yang konstruktivistik.

No
Pembelajaran Behavioristik (tradisional)
Pembelajaran Konstruktivistik
1
Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan dasar
Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju kebagian-bagian dan lebih mendekatkan kepada konsep-konsep yang lebih luas
2
Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan
Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa
3
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan
4
Siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa
Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya
5
Penilian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing
Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan
6
Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group proses dalam belajar
Siswa-siswa banyak belajar dan
bekerja di dalam group proses
7
Memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi
Memandang pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu
8
Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan

Belajar adalah penyusunan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna
9

Kegagalan dalam menambah pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum

Kegagalan merupakan interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai


10
Evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajar
Evaluasi menggali munculnya berfikir divergent, pemecahan ganda, dan bukan hanya satu jawaban benar
11
Evaluasi dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan belajar dengan menekankan pada evaluasi individu

Evaluasi merupakan bagian utuh dari pembelajaran dengan cara memberikan tugas-tugas yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari yang menekankan pada keterampilan proses
Bagan 2.1. Perbedaan pembelajaran behavioristik (tradisional) dengan konstruktivistik
Sumber : Aqib, (2002:120), Budiningsih, (2005:63)

Konstruktivisme berawal dari pandangan kognitivisme. Kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Kognitivisme mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Pandangan kognitivisme menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek kejiwaan lainnya dimana pengetahuan yanag diterima disesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki seseorang berdasarkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.

Berikut komparasi teori behavioris, kognitif, dan konstruktivis
Behavioris
Kognitif
Konstruktivis

 Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang dapat diamati dan perilaku tersebut dapat dikuatkan atau dihentikan melalui ganjaran atau hukuman
 Pengajaran direncanakan dengan menyusun tujuan instruktional yang dapat diukur dan diamati
 Guru tidak perlu tahu pengetahuan apa yang telah diketahui dan apa yang terjadi pada proses berfikir seseorang



 Belajar merupakan pelibatan penguasaan atau penataan kembali struktur kognitif dimana
seseorang memproses dan menyimpan informasi
 Semua gagasan dan citraan (image) diwakili dalam skema
 Jika informasi sesuai dengan skema akan diterima, jika tidak akan disesuaikan atau skema yang disesuaikan

 Belajar merupakan pembangunan pengetahuan berdasarkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya
 Belajar merupakan penafsiran seseorang tentang dunia
 Belajar merupakan proses aktif melalui interaksi atau kerja sama dengan orang lain
 Belajar perlu disituasikan dalam latar (setting) yang nyata

Bagan 2.3. Komparasi teori behavioris, kognitif, dan konstruktivis
Sumber : Yuleilawati (2004, 52-54)

Suatu hal yang sangat penting dalam pembelajaran konstruktivisme adalah menghubungkan materi dengan kehidupan nyata siswa. Ketika pokok bahasan proklamasi kemerdekaan Indonesia maka guru dapat menghubungkan manfaat proklamasi yang dirasakan oleh orang-orang yang tinggal di lingkungan siswa pada waktu itu, seperti bahasa, agama, kebebasan berbicara, dan kebudayaan.

Dalam melaksanakan pendekatan konstruktivisme guru sejarah hendaknya dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, mendorong dan menerima otonomi dan inisiatif siswa dalam mengembangkan materi pembelajaran.
Kedua, menggunakan data mentah dan sumber utama (primary resaurces), termasuk sumber-sumber pelaku utama sejarah untuk dikembangkan dan didiskusikan bersama-sama dengan siswa di kelas.
Ketiga, memberikan tugas kepada siswa untuk mengembangkan klasifikasi, analisis, melakukan prediksi terhadap peristiwa sejarah, dan menciptakan konsep-konsep baru.
Keempat, bersifat fleksibel terhadap renponse dan interpretasi siswa dalam masalah-maslah sejarah, bersedia mengubah strategi pembelajaran yang tergantung pada minat siswa, serta mengubah isi pelajaran sesuai dengan situasi dan kondisi siswa.
Kelima, memfasilitasi siswa untuk memahami konsep sambil mengembangkannya melalui dialog dengan siswa.
Keenam, mengembangkan dialog antara guru dan siswa dan antara siswa dengan rekan-rekannya.
Ketujuh, Menghindari penggunaan alat tes untuk mengukur keberhasilan siswa.
Kedelapan, mendorong siswa untuk membuat analisis dan elaborasi terhadap masalah-masalah kontroversial yang dihadapinya.
Kesembilan, mengembangkan aspek kontradiksi dan kontroversi untuk ditarik dalam KBM di kelas.
Kesepuluh, memberi peluang kepada siswa untuk berfikir mengenai masalah yang dihadapi siswa.
Kesebelas, memberi peluang kepada siswa untuk membangun jaringan konsep serta membentuk metaphora. (Supriatna, 2001: 29-34).

8.2). Metode Mengajar Guru dalam Pendekatan Konstruktivisme
Menurut Hamalik (2003:2) metode mengajar adalah suatu cara, teknik atau langkah-langkah yang akan ditempuh dalam proses belajar mengajar. Sedangkan Roestiyah (2001:1) Metode mengajar adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh siswa dengan baik.

Ada berbagai metode yang dapat digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran, diantaranya; ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemberian tugas, bermain peran, karyawisata, inquiry, kerja kelompok, discovery, demonstrasi. Karena keterbatasan kemampuan dan waktu maka tidak akan semua metode dapat digunakan. Namun yang terpenting adalah penggunaan metode harus dikaitkan dengan situasi dan tujuan belajar yang hendak dicapai dan ditekankan kepada keaktifan siswa dalam membangun pengetahuan.

Penjelasan metode-metode tersebut adalah sebagai berikut :
a. Tanya Jawab (questioning)
Bertanya (questioning) merupakan strategi atau metode utama lainya dalam pendekatan konstruktivisme untuk mengukur sejauh mana siswa dapat mengenali konsep-konsep pada topik pelajaran yang akan dipelajari. Bertanya dalam sebuah pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dalam pembelajaran yang berbasis inquiry, kegiatan bertanya merupakan bagian yang sangat penting untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian pada hal-hal yang belum diketahuinya.

Kegiatan bertanya sangat berguna dalam pembelajaran yang produktif seperti dikemukakan Nurhadi (2003: 14) berikut ini:
1. menggali informasi, baik administrasi maupun akademis
2. mengecek pemahaman siswa
3. membangkitkan respon kepada siswa
4. mengetahui sejauh mana keinginan siswa
5. mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
6. memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
7. membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa
8. menyegarkan kembali pengetahuan siswa

b. Penyelidikan/Menemukan (Inquiry)
Berikut adalah langkah-langkah inkuiri menurut beberapa ahli diantaranya adalah; Hasan, Said Hamid (1996 :14) :
langkah-langkah inkuiri adalah :
1) Perumusan masalah,
2) pengembangan hipotesis,
3) pengumpulan data,
4) pengolahan data,
5) pengujian hipotesis,
6) penarikan kesimpulan.

Menurut Dahlan (1990:169) langkah-langkah inkuiri adalah
1)      orientasi, 2) hipotesis, 3) definisi, 4) eksplorasi, 5) pembuktian, 6) generalisasi.

Sedangkan menurut Joyce & Weil (2000:473-475) mengemukakan langkah-langkah inkuiri sebagai berikut :
1) penyajian masalah,
2) pengumpulan data dan verifikasi data,
3) mengadakan eksperimen dan pengumpulan data,
4) merumuskan penjelasan,
5) mengadakan analisis tentang proses inkuiri.

Menurut Nurhadi (2003:13): adalah
1) Merumuskan masalah,
2) Mengamati dan melakukan observasi,
3) Menganalisis dan meyajikan hasil tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya,
4) Mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.

c. Komunitas Belajar (Learning Community)
Komunitas belajar atau belajar kelompok adalah pembelajaran dengan bekerjanya sejumlah siswa yang sudah terbagi kedalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan tertentu secara bersama-sama (Moejiono,1991/1992:60). Pengembangan pembelajaran dalam kelompok dapat menumbuhkan suasana memelihara disiplin diri, dan kesepakatan berperilaku. Melalui kegiatan kelompok terjadi kerja sama antar siswa, juga dengan guru yang bersifat terbuka. Belajar berkelompok dapat dijadikan arena persaingan sehat, dan dapat pula meningkatkan motivasi belajar para anggota kelompok.

9. Teori Belajar Yang Mendukung Pendekatan Konstruktivisme
Teori belajar pada dasarnya merupakan suatu teori yang menjelaskan bagaimana siswa-siswa belajar, meliputi kesiapan belajar, proses mental, dan apa yang dilakukan siswa pada usia tertentu.

Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan merupakan hasil bentukan sendiri, oleh karenanya tidak ada transfer pengetahuan dari seorang ke orang lain, sebab setiap orang membangun pengetahuannya sendiri. Bahkan bila guru ingin memberikan pengetahuan kepada siswa, maka pemberian itu diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalamannya.

Inti dari konstruktivisme di atas berkaitan erat dengan beberapa teori belajar, yaitu; teori perubahan konsep, teori belajar bermakna Ausubel, dan teori Skemata (Suparno, 1997 :49). Namun menurut peneliti pembelajaran konstruktivisme juga berkaitan dengan teori belajar Bruner.

Penjelasan dari masing-masing teori tersebut adalah sebagai berikut :
1. Teori Belajar Perubahan Konsep
Agar terjadi perubahan radikal (akomodasi) dibutuhkan beberapa keadaan dan syarat sebagai berikut :
1. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Siswa mengubah konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman, dan gejala yang baru.
2. Konsep yang baru harus dapat dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena yang baru.
3. Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
4. Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan penemuan yang baru. (Suparno, 1997 :50-51).

2. Teori Belajar Bermakna Ausubel
Kedekatan teori belajar bermakna Ausubel dengan konstruktivisme adalah keduanya menekankan pentingnya mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dimiliki, keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa, dan keduanya mengasumsikan adanya keaktifan siswa dalam belajar.

3. Teori Skema
Belajar menurut teori skema adalah mengubah skema (Suparno, 1997:55). Lebih jauh ia menyatakan :
Orang dapat membentuk skema baru dari suatu pengalaman baru. Orang dapat menambah atribut baru dalam skemanya yang lama. Orang dapat melengkapi dan memperluas skema yang telah dimilikinya dalam berhadapan dengan pengalaman, persoalan, dan juga pemikiran yang baru. Biasanya seseorang bila menghadapi pengalaman baru yang tidak cocok dengan skema yang dimilikinya, ia akan mengubah skema lamanya. Dalam proses belajar siswa mengadakan perubahan skemanya, baik dengan menambah atribut, memperluas, memperhalus, ataupun mengubah sama sekali skema lama.

4. Teori Belajar Bruner
Menurut Bruner ( http://www.jaring.com.my/weblog/comments.php?id=3603 )
“pembelajaran adalah proses yang aktif dimana pelajar membina ide baru berasaskan pengetahuan yang lampau”. Selanjutnya Bruner (Nur, 2000:10) menyatakan bahwa “mengajarkan suatu bahan kajian kepada siswa adalah untuk membuat siswa berfikir untuk diri mereka sendiri, dan turut mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan. Mengetahui adalah suatu proses bukan suatu produk”. Masih menurut Bruner (Dahar, 1997:98) bahwa dalam membangun pengetahuan di dasarkan kepada dua asumsi yaitu :asumsi pertama adalah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif yaitu orang yang belajar akan berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi dilingkungan tatapi juga dalam diri orang itu sendiri. Asumsi kedua adalah orang yang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang tersimpan yang diperoleh sebelumnya.
Menurut Bruner, dalam proses belajar terdapat tiga episode yang harus dilalui anak, yakni
(1)   ‘informasi, (2) transformasi, (3) evaluasi.
Ketiga episode itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
Informasi. Dalam tiap pelajaran siswa akan memperoleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan yang telah dimiliki, ada yang memperhalus dan memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah diketahui sebelumnya.
Transformasi. Informasi harus dianalis, diubah atau ditransformasi kedalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan.
Evaluasi. Informasi yang diperoleh tersebut dinilai untuk dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain. (Nasution, 1987:9).

DAFTAR PUSTAKA
Aqib, Z. (2002). Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran. Surabaya : Insan Cendikia.
Bruner, J (1998). Contructivist Theory. [online] Tersedia:
http://www.jaring.com.my/weblog/comments.php?id=3603 [25 Maret 2006].
Budiningsih, C.A. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta : Depdiknas. 24
Depdiknas. (2005). Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Jakarta : Dirjen Dikti. Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.
Hopkins, D. (1993). A Teacher's Guide to Classroom Research. Philadelphia Open University Press.
Karli, H. dan Yuliariatiningsih, M.S. (2003). Model-Model Pembelajaran. Bandung : Bina Media Informasi.
Kasbolah, K., (1999). Penelitian Tindakan Kelas (PTK), Jakarta: Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Dirjen Dikti, Depdikbud.
Nurjanah, N (2005). Penerapan Model Konstruktivisme dalam Pembelajaran Menulis Bahasa Indonesia. Disertasi PPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Piaget. (1981) The psychology of Intelligence.Totawa: Littlefield, Adam & Co.
------- (1971). Psychology and Epistemology.New York:The Viking Press.
Poedjiadi, A. (2005). Sains Teknologi Masyarakat; Model Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Nilai. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Rozak, A. (2001). Penerapan Model Pembelajaran Konstruktivistik sebagai Upaya Memperluas
Siroj, R. A, (2004). Pemerolehan Pengetahuan Menurut Pandangan Konstruktivistik. [online]. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/43/rusdy-a-siroj.htm [25-3-2006]
Suparno, P. (2001). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.
Surya, M., (2003). Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: Yayasan Bhakti Winaya.
Yulaelawati, E. (2004). Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi, Teori dan Aplikasi. Jakarta : Pakar Raya.
Zuriah, N. (2003). Penelitian Tindakan Dalam Bidang Pendidikan dan Sosial. Malang: Bayumedia Publishing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar