KONSTRUKTIVISME
DALAM PEMBELAJARAN
I. Filsafat Konstruktivisme
1. Pengertian dan Ciri-Ciri Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat
yang pertama kali dikemukakan oleh Giambatista Vico tahun 1710, ia adalah
seorang sejarawan Italia yang mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ”Tuhan
adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia
menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat
sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat
menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu (Suparno, 1997:24).
Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa
pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek,
fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat
Poedjiadi (2005 :70) bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan
pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang
dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan
itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”.
Karli (2003:2) menyatakan konstruktivisme
adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa
dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik
kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir
proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari
hasil interkasi dengan lingkungannya.
Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar
prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah
(1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri,
baik secara personal maupun secara sosial;
(2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke
siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar;
(3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus
menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci,
lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah;
(4) guru berperan membantu menyediakan sarana
dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri
pembelajaran yang konstruktivis menurut beberapa literatur yaitu :
1.Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman
atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya
2.Belajar adalah merupakan penafsiran personal
tentang dunia
3.Belajar merupakan proses yang aktif dimana
makna dikembangkan berdasarkan pengalaman
4.Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan
(negosiasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan
dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain
5.Belajar harus disituasikan dalam latar (setting)
yang realistik, penilaian harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan
kegiatan yang terpisah. (Yuleilawati, 2004 :54)
Sedangkan menurut Siroj (http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/43/rusdy-a-siroj.htm)
ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah :
(1) Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui
proses pembentukan pengetahuan.
(2) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman
belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat
diselesaikan dengan berbagai cara.
(3) Mengintegrasikan pembelajaran dengan
situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit,
misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
(4) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga
memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja
sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi
dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
(5) Memanfaatkan berbagai media termasuk
komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
(6) Melibatkan siswa secara emosional dan
sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau belajar.
2. Macam-Macam Konstruktivisme
Konstruktivisme dibedakan dalam dua tradisi
besar yaitu konstruktivisme psikologis (personal) dan sosial. Konstruktivisme
psikologis bercabang dua, yaitu yang lebih personal (Piaget,1981:43) dan yang
lebih sosial (Vygotsky); sedangkan konstruktivisme sosial berdiri sendiri
(Kukla, 2003: 11-14) .
2.(a) Konstruktivisme personal
Piaget (Fosnot (ed), 1996: 13-14) menyoroti
bagaimana anak-anak pelan-pelan membentuk skema pengetahuan, pengembangan skema
dan mengubah skema. Ia menekankan bagaimana anak secara individual mengkonstruksi
pengetahuan dari berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang dihadapinya. Ia
menekankan bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi, baik secara sederhana
maupun secara refleksif, dalam membentuk pengetahuannya. Tampak bahwa tekanan
perhatian Piaget lebih keaktifan individu dalam membentuk pengetahuan. Bagi
Piaget, pengetahuan lebih dibentuk oleh si anak itu sendiri yang sedang belajar
daripada diajarkan oleh orang tua.
Konstruktivisme psikologis bercabang dua:
(1) yang lebih personal, individual, dan
subjektif seperti Piaget dan para pengikutnya;
(2) yang lebih sosial seperti Vigotsky. Piaget
menekankan aktivitas individual, lewat asimilasi dan akomodasi (Suparno, 1997: 31-32)
dalam pembentukan pengetahuan; sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya
masyarakat dalam mengkonstruksi pengetahuan ilmiah (Mattews,1994:235-138). .
Dalam pandangan Piaget, pengetahuan dibentuk
oleh anak lewat asimilasi dan akomodasi dalam proses yang terus menerus sampai
ketika dewasa. Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep, nilai-nilai ataupun pengalaman baru ke dalam
skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang
sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian
atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Setiap orang selalu
secara terus menerus mengembangkan proses asimiliasi. Proses asimilasi bersifat
individual dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan
baru sehingga pengertian orang berkembang.
Dalam proses pembentukan pengetahuan dapat
terjadi seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman baru dengan skema
yang telah dipunyai. Dalam keadaan seperti ini orang akan mengadakan akomodasi,
yaitu
(1) membentuk skema baru yang cocok dengan
rangsangan yang baru, atau
(2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok
dengan rangsangan itu.
Pandangan konstruktivisme personal sebenarnya
mengandung kelemahan.
Menurut Glasersfeld (Suparno, 1997: 42) salah
satu tokoh konstruktivisme personal, pengetahuan hanya ada di dalam “kepala”
seseorang di mana ia harus membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman
pribadinya. Menurut pendapat ini ilmu pengetahuan bersifat pribadi, hal ini
berarti „realitas‟ bagi seseorang dibangun berdasarkan pengalaman pribadinya.
Inilah salah satu sumber kritik terhadap konstruktivisme personal, dan karena
pandangan yang demikian konstruktivisme personal sering dianggap menganut faham
solipsisme.
Faham solipsisme berpendapat bahwa segala
sesuatu hanya ada bila ada dalam pikiran atau dipikirkan (Sarkim, 2005: 155).
Selain itu, solipsisme juga mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu dibangun
secara individual. Pandangan ini memang sulit untuk menjelaskan bagaimana kita
bisa memiliki pengetahuan bersama tentang sesuatu hal.
Persoalan lain yang juga mengundang kritik
adalah pandangannya tentang ilmu pengetahuan yang berlawanan dengan pandangan
tentang kebenaran yang bersifat korespondensi atau dikenal sebagai faham
realisme (Kukla, 2003: 75-80). Aliran korespondensi berpandangan bahwa ilmu pengetahuan merupakan representasi independen
mengenai dunia, dan berkeyakinan bahwa kalimat-kalimat atau
pernyataan-pernyataan yang kita buat dikatakan ”benar” bila dan hanya bila
berkorespondensi dengan kenyataan (Sonny Keraf dkk, 2001: 66-67). Faham
demikian tidak diakui oleh konstruktivisme personal. Sebaliknya konstruktivisme
personal berpendapat bahwa pengetahuan itu apa yang dapat kita lakukan dengan
dunia pengalaman kita, ilmu pengetahuan itu merupakan sarana untuk
mendeskripsikan alam ini.
2. (b) Konstruktivisme sosial
Teori konstruktivisme di dalam bidang
pendidikan terdiri dari dua aliran besar yaitu konstruktivisme sosial (KS) dan
konstruktivisme personal (KP). Konstruktivisme sosial dan konstruktivisme personal
sama-sama berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil rekayasa manusia
sebagai individu. Akan tetapi keduanya memiliki perbedaan pandangan mengenai
peranan individu dan masyarakat dalam proses pembentukan ilmu pengetahuan itu.
Pendukung konstruktivisme sosial berpendapat
bahwa di samping individu, kelompok di mana individu berada, sangat menentukan
proses pembentukan pengetahuan pada diri seseorang. Melalui komunikasi dengan
komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan kepada orang lain sehingga
pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan. Selain itu, melalui
komunikasi seseorang memperoleh informasi atau pengetahuan baru dari
masyarakatnya. Vygotsky menandaskan bahwa kematangan fungsi mental anak justru
terjadi lewat proses kerjasama dengan orang lain, seperti dinyatakan oleh
Newman (1993: 62) sebagai berikut: ” The maturation of the child’s higher
mental functions occurs in this cooperative process, that is, it occurs through
the adult’s assistance and participation ”.
Pandangan yang dianut oleh KS seperti
dipaparkan di atas sangat berbeda dengan pandangan yang dianut oleh para
pendukung KP. KP kadang kala dikenal sebagai konstruktivisme psikologis, yang
memandang bahwa pembentukan pengetahuan adalah sepenuhnya persoalan individu.
KP sangat menekankan pentingnya peranan individu dalam proses pembentukan ilmu
pengetahuan (Suparno, 1997: 44)
Konstruktivisme sosial menekankan bahwa
pembentukan ilmu pengetahuan merupakan hasil pembentukan individu bersama-sama
dengan masyarakat sekitarnya. Bahkan Piaget menulis sebagai berikut (Fosnot
(ed), 1996: 18):
” there is no longer any need to choose
between the primacy of the social or that of the intellect; the collective
intellect is the social equilibrium resulting from the interplay of the
operations that enter into all cooperation ”.
3. Konstruktivisme dan pengetahuan
Konstruktivisme adalah aliran filsafat
pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan (knowledge) merupakan
hasil konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar. Maksudnya
setiap orang membentuk pengetahuannya sendiri. Kukla (2003: 39) secara tegas
menyatakan bahwa sesungguhnya setiap orang adalah konstruktivis. Pengetahuan
bukanlah “sesuatu yang sudah ada di sana” dan tinggal mengambilnya tetapi
merupakan suatu bentukan terus menerus dari orang yang belajar dengan setiap
kali mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru (Fosnot (ed),
1996: 14)
Kaum konstruktivis b erpendapat bahwa
pengetahuan bukan suatu yang sudah jadi, tetapi merupakan suatu proses menjadi
(Suparno, 1997: 20). Misalnya, pengetahuan kita tentang “ayam”, mula-mula
dibentuk sejak kita masih kecil ketemu pertama kali dengan ayam. Pengetahuan
tentang ayam waktu kecil belum lengkap, tetapi lambat laun makin lengkap di
saat kita makin banyak berinteraksi dengan ayam yang ternyata ada
bermacam-macam jenisnya, tetapi semua disebut ayam.
Dalam proses itu, menurut Glasersfeld (Suparno,
1997: 20), diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut:
(1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan
kembali pengalaman,
(2) kemampuan membandingkan, mengambil
keputusan mengenai persamaan dan perbedaan,
(3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman
yang satu daripada yang lain.
Menurut konstruktivisme (Suparno, 1997: 18)
pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan
bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu akibat dari
suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang
membentuk skema, konsep, nilai dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
pengetahuan.
Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas
dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang mengkonstruksi pengalaman
atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus
dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang
baru. Pengetahuan entah itu berupa konsep, norma, nilai, dibentuk oleh akal
budi dengan mengabstraksi fakta-fakta, pengalaman, kenyataan yang ada di
sekitar manusia (Kukla, 2003: 12-24).
Piaget membedakan adanya tiga macam
pengetahuan, yaitu pengetahuan fisis, matematis-logis, dan sosial (Suparno,
1997: 39-40). Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat fisis suatu
objek, seperti bentuk, besar, berat dan bagaimana benda-benda itu berinteraksi.
Secara ringkas gagasan konsruktivisme mengenai
pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut (Suparno, 1997:21):
(1). Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia
kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan
subjek.
(2). Subjek membentuk skema kognitif, kategori,
konsep dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
(3). Pengetahuan dibentuk dalam struktur
konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu
berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
3. (a) Teori perubahan konsep
Menurut pendukung teori perubahan konsep, dalam
proses belajar ada proses perubahan konsep yang mencakup dua tahap, yaitu tahap
asimilasi dan akomodasi (Suparno, 1997: 50). Dengan asimilasi peserta didik
menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk berhadapan dengan
fenomena yang baru. Dengan akomodasi peserta didik mengubah konsepnya yang
tidak cocok lagi dengan fenomena baru yang mereka hadapi. Proses dalam
akomodasi oleh kaum konstruktivis disebut sebagai perubahan konsep secara
radikal.
Agar terjadi perubahan konsep secara radikal /
akomodatif maka dibutuhkan keadaan dan syarat sebagai berikut (Suparno, 1997:
50-51):
(1). Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep
yang telah ada. Peserta didik mengubah konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep
mereka yang lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman,
dan gejala yang baru.
(2). Konsep yang baru harus dimengerti,
rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena yang baru.
(3). Konsep yang baru harus masuk akal, dapat
memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan
teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
(4). Konsep baru harus berdaya guna bagi
perkembangan penelitian dan penemuan yang baru.
Menurut kaum konstruktivis, salah satu penyebab
terbesar ketidakpuasan terhadap konsep lama adalah adanya peristiwa anomali.
Suatu peristiwa yang bertentangan dengan yang dipikirkan peserta didik.
Suatu peristiwa di mana peserta didik tidak dapat mengasimilasikan
pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Misalnya, bagi peserta didik
yang berpikir bahwa ”kejujuran” bersifat mutlak (berlaku objektif dan
universal), akan menjadi bingung ketika melihat seorang dokter ”berbohong”
kepada pasiennya dengan mengatakan bahwa penyakitnya ”agak serius”, kendati
kenyataannya sang pasien menderita sakit kangker sudah stadium 4 (kritis
sekali), sudah ”amat kritis”. Seorang dokter ”bohong” (tidak jujur) merupakan
peristiwa anomali bagi peserta didik tertentu. Peristiwa-peristiwa lain seperti
itu akan menantang peserta didik untuk lebih berpikir dan mempersoalkan mengapa
pikiran awal mereka tidak benar.
Banyak pendidik budi pekerti, moral, nilai
ataupun agama menggunakan data anomali untuk memacu perubahan konsep pada
peserta didik. Mereka menyediakan data-data, fakta-fakta dan peristiwa yang
memberikan data berbeda dengan keyakinan anak atau prediksi anak. Harus diakui
bahwa data anomali kadang kala gagal mendorong perubahan konsep karena para
ilmuan dan peserta didik kadang menemukan cara untuk mengabaikan data-data atau
fakta-fakta yang berlawanan tersebut.
Ada beberapa orang bereaksi terhadap data
anomali :
(1) mengabaikan dan menolaknya,
(2) mengecualikan data itu dari teori yang
telah ada,
(3) mengartikan kembali data itu,
(4) mengartikan kembali data itu dengan sedikit
perubahan, dan
(5) menerima data itu serta mengubah teori atau
konsep sebelumnya.
Vygotsky (Kukla, 2003: 6-10; Fosnot (ed), 1996:
18) membedakan dua macam konsep:
konsep spontan dan konsep ilmiah.
Konsep spontan diperoleh peserta didik dari
kehidupan sehari-hari dan konsep ilmiah diperoleh dari pelajaran di sekolah.
Perbedaan yang mencolok dari kedua konsep itu adalah ada atau tidak adanya
sistem. Konsep spontan didasarkan pada kejadian khusus dan tidak merupakan
bagian yang bertalian secara logis dari suatu sistem pemikiran, sedangkan
konsep ilmiah disajikan sebagai bagian dari suatu sistem.
Konstruktivisme, yang menekankan bahwa
pengetahuan dibentuk oleh peserta didik yang sedang belajar, dan teori
perubahan konsep, yang menjelaskan bahwa peserta didik mengalami perubahan
konsep terus menerus, sangat berperanan dalam menjelaskan mengapa seorang
peserta didik bisa salah mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia
pelajari.
3. (b) Teori skema
Teori skema berpendapat bahwa pengetahuan itu
disimpan dalam suatu paket informasi, atau skema, yang terdiri dari konstruksi
mental gagasan kita. Skema adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan
untuk mengerti sesuatu hal, menemukan jalan keluar, ataupun memecahkan
persoalan. Orang harus mengisi atribut skemanya dengan informasi yang benar
agar dapat membentuk kerangka pemikiran yang benar. Kerangka pemikiran inilah
yang menurut Jonassen dkk.( Suparno,1997: 55), membentuk pengetahuan struktural
seseorang, di mana pengetahuan struktural tersebut terdiri dari skema-skema
yang dipunyai dan hubungan antara skema-skema itu.
Menurut teori skema, seseorang belajar dengan
mengadakan restrukturisasi atas skema yang ada, baik dengan menambah maupun
dengan mengganti skema itu. Ini mirip dengan konstruktivisme Piaget yang
menggunakan asimilasi dan akomodasi. Perbedaannya adalah bahwa teori skema
tidak menjelaskan proses pengetahuan, tetapi lebih bagaimana pengetahuan
manusia itu tersimpan dan tersusun.
4. Hal-hal yang membatasi konstruksi
pengetahuan
Yang membatasi proses konstruksi pengetahuan
manusia antara lain:
(1) konstruksi kita yang lama,
(2) domain pengalaman kita,
(3) jaringan struktur kognitif kita (Suparno,
1997: 22).
Menurut konstruktivisme, pengalaman atas
fenomena yang baru akan menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan
pengetahuan kita; dan kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan kita
pula. Misalnya, dalam bidang ilmu sosial, pengalaman kita berinteraksi dengan
macam-macam masyarakat, budaya, nilai, norma, akan semakin mengembangkan ilmu
tersebut; sedangkan keterbatasan dalam hal ini akan lebih merugikan.
5. Hubungan konstruktivisme dengan teori
belajar
Garis besar pemikiran filsafat konstruktivisme
(Suparno, 1997: 49) yang diambil manfaatnya untuk proses belajar peserta didik
adalah:
(1). Pengetahuan dibangun oleh peserta didik
sendiri, baik secara personal maupun secara sosial;
(2). Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari
pendidik ke peserta didik, kecuali hanya dengan keaktifan peserta didik sendiri
untuk menalar,
(3). Peserta didik aktif mengkontruksi terus
menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih
rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah,
(4). Pendidik sekadar membantu menyediakan
sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik berjalan mulus.
6. Pengaruh konstruktivisme terhadap proses dan
makna belajar
6). (a) Makna belajar
Bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah
kegiatan yang aktif, di mana peserta didik membangun sendiri
pengetahuan, keterampilan dan tingkah lakunya. Peserta didik mencari arti
sendiri dari yang mereka pelajari. Peserta didik sendiri lah yang bertanggung
jawab terhadap hasil belajarnya. Mereka sendiri yang membuat penalaran dengan
apa yang dipelajarinya, dengan cara mencari makna, membandingkan dengan apa
yang telah ia ketahui dengan pengalaman dan situasi baru.
Proses belajar itu antara lain bercirikan
sebagai berikut (Fosnot, 1989: 19-20;34-40):
(1). Belajar berarti membentuk makna. Proses
pembentukan makna ini berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya
melalui interaksi langsung dengan objek. Makna diciptakan oleh peserta didik
dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu
dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
(2). Konstruksi terjadi lewat asimilasi dan
atau akomodasi. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang
baru, diadakan asimilasi dan atau akomodasi.
(3). Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan
fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian
(konsep) yang baru. Proses belajar adalah proses pengembangan pemahaman atau
pemikiran dengan membuat pemahaman yang baru. Belajar itu meredifinisi
pengetahuan, konsep lama menjadi pengertian ataupun konsep yang baru. Belajar bukanlah
hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu
perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
(4). Hasil belajar yang sebenarnya terjadi pada
waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikirannya lebih lanjut.
Situasi ketidak seimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik
untuk memacu belajar.
(5). Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman
peserta didik dengan dunia fisik dan lingkungannya.
(6). Belajar akan bermakna jika terjadi melalui
refleksi dan memecahkan konflik kognitif dan menggugat pengetahuan lamanya yang
kurang sempurna.
(7). Hasil belajar seseorang tergantung pada
apa yang telah diketahui si peserta didik: konsep-konsep, nilai-nilai, tujuan,
sikap dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
Karena pengetahuan dibentuk baik secara
individual maupun sosial, maka kesempatan untuk belajar kelompok, diskusi, cooperative
learning dapat dikembangkan. Menurut Glasersfeld, dalam belajar kelompok
(Suparno,1997:63), peserta didik yang mengerjakan suatu persoalan secara
bersama-sama, harus mengungkapkan bagaimana melihat persoalan tersebut dan apa
yang ingin mereka buat dengan persoalan itu. Inilah salah satu cara menciptakan
refleksi, yang menuntut kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan dan sedang
dibuat. Selanjutnya hal tersebut akan memberikan kesempatan kepada seseorang
untuk secara aktif membuat abstraksi. Bagi peserta didik, menjelaskan sesuatu
kepada kawan-kawan dapat membantu untuk melihat sesuatu lebih jelas terutama
inkonsistensi pandangan mereka sendiri. Seseorang yang diberi kesempatan untuk
menjelaskan bahan pada seluruh kelas, biasanya terpacu untuk belajar lebih
sungguh-sungguh.
6. (b) Implikasi konstruktivisme terhadap proses
pembelajaran
Ada sejumlah implikasi yang relevan terhadap
proses pembelajaran berdasarkan pemikiran konstruktivisme personal dan sosial.
Implikasi itu antara lain (Suparno, 1997: 61-69):
(1). Kaum konstruktivis personal berpendapat
bahwa pengetahuan diperoleh melalui konstruksi individual dengan melakukan
pemaknaan terhadap realitas yang dihadapi dan bukan lewat akumulasi informasi.
Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara
langsung memberikan informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila
peserta didik berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu.
Pengetahuan diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses transformasi
struktur kognitif tersebut. Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran
adalah menyediakan objek pengetahuan secara konkret, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan pengalaman peserta didik atau memberikan
pengalaman-pengalaman hidup konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap, dll)
untuk dijadikan objek pemaknaan.
(2). Kaum konstruktivis berpendapat bahwa
pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif yang
telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan
aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar
maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan
kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman
belajar yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir,
berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman yang disajikan tidak
boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama
seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang
batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan yang belum
diketahui (Mukminan,dkk., 1998: 44; Fosnot (ed), 1996: 18-20) sebagai zone
of proximal development of knowledge.
(3). Terkait dengan kedua hal di atas, maka
dalam proses pembelajaran seorang pendidik harus menciptakan pengalaman yang
autentik dan alami secara sosial kultural untuk para peserta didiknya. Materi
pembelajaran sungguh harus kontekstual, relevan dan diambil dari pengalaman
sosio budaya setempat. Pendidik tidak dapat memaksakan suatu materi yang tidak
terkait dengan kehidupan nyata peserta didik. Pemaksaan hanya akan menimbulkan
penolakan atau menimbulkan kebosanan atau akan menghambat proses perkembangan
pengetahuan peserta didik.
(4). Dalam proses pembelajaran pendidik harus
memberi otonomi, kebebasan peserta didik untuk melakukan eksplorasi masalah dan
pemecahannya secara individual dan kolektif, sehingga daya pikirnya dirangsang
untuk secara optimal dapat aktif membentuk pengetahuan dan pemaknaan yang baru.
(5). Pendidik dalam proses pembelajaran harus
mendorong terjadinya kegiatan kognitif tingkat tinggi seperti mengklasifikasi,
menganalisis, menginterpretasikan, memprediksi dan menyimpulkan, dll.
(6). Pendidik merancang tugas yang mendorong
peserta didik untuk mencari pemecahan masalah secara individual dan kolektif
sehingga meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi dalam mengembangkan
pengetahuan dan rasa tanggungjaawab pribadi.
(7). Dalam proses pembelajaran, pendidik harus
memberi peluang seluas-luasnya agar terjadi proses dialogis antara sesama
peserta didik, dan antara peserta didik dengan pendidik, sehingga semua pihak
merasa bertanggung jawab bahwa pembentukan pengetahuan adalah tanggungjawab
bersama. Caranya dengan memberi pertanyaan-pertanyaan, tugas-tugas yang terkait
dengan topik tertentu, yang harus dipecahkan, didalami secara individual
ataupun kolektif, kemudian diskusi kelompok, menulis , dialog dan presentasi di
depan teman yang lain.
7. Pengaruh konstruktivisme terhadap proses
mengajar
Menurut prinsip konstruktivisme, seorang
pendidik mempunyai peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar
proses belajar peserta didik berjalan dengan baik.
Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini
dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut (Suparno,
1997: 65-66):
(1). Menyediakan pengalaman belajar, yang
memungkinkan pesera didik ikut bertanggungjawab dalam membuat design, proses
dan penelitian. Maka menjadi jelas bahwa mengajar model ceramah bukanlah tugas
utama seorang pendidik.
(2). Pendidik menyediakan pertanyaan-pertanyaan
atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik,
membantu mereka untuk mencari, membentuk pengetahuan, mengekspresikan gagasan,
pendapat, sikap mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya.
(3). Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan
apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau tidak. Pendidik menunjukkan dan
mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik berlaku untuk menghadapi
persoalan baru yang berkaitan dengannya. Pendidik membantu dalam mengevaluasi
hipotesis dan kesimpulan peserta didik.
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pendidik
perlu membiarkan peserta didik menemukan cara yang paling cocok dalam
memecahkan persoalan. Peserta didik kadang suka mengambil jalan yang tidak
konvensional untuk memecahkan suatu soal. Bila seorang pendidik tidak
menghargai cara penemuan mereka, ini berarti menyalahi sejarah perkembangan
ilmu, yang dimulai juga dari kesalahan. Sangat penting bahwa pendidik tidak
mengajukan jawaban satu-satunya sebagai yang benar, terlebih dalam persoalan
yang berdasarkan suatu pengalaman, seperti norma dan nilai sebagai dasar
bertingkah laku.
Dalam sistem konstruktivisme, pendidik dituntut
penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Pendidik perlu mempunyai
pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan dari bahan yang mau diajarkan.
Pengetahuan yang luas dan mendalam akan memungkinkan seorang pendidik menerima
pandangan dan gagasan peserta didik yang berbeda dan juga memungkinkan untuk
menunjukkan apakah gagasan peserta didik itu benar atau tidak. Penguasaan bahan
memungkinkan seorang pendidik mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai
kepada suatu pemecahan persoalan dan tidak terpaku kepada satu model.
Kecuali menguasai bahan, pendidik sangat perlu
mengerti konteks dari bahan itu, sehingga sangat penting untuk seorang
pendidik, misalnya dosen pendidikan Pancasila, kecuali mengerti tentang isinya
juga tahu bagaimana isi itu dalam perkembangan ilmu pengetahuan berperan.
Pendidik juga perlu mengerti bagaimana pendidikan Pancasila itu berpengaruh
terhadap teknologi dan masyarakat.
8. Konstruktivisme Dalam Pendidikan
1). Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Salah satu prinsip paling penting dari
psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya semata-mata memberikan pengetahuan
kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru
dapat membantu proses ini dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan dan menerapkan ide-ide mereka untuk belajar (Nur,2000: 2). Paradigma
konstruktivisme memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan
awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar
dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru (Budiningsih, 2005:59).
Oleh karena itu agar pembelajaran lebih
bermakna bagi siswa dan pendidik maka pendekatan konstruktivisme merupakan
solusi yang baik untuk dapat diterapkan. Berikut akan dipaparkan perbedaan
pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran yang
konstruktivistik.
No
|
Pembelajaran Behavioristik (tradisional)
|
Pembelajaran Konstruktivistik
|
1
|
Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju
keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan dasar
|
Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan
menuju kebagian-bagian dan lebih mendekatkan kepada konsep-konsep yang lebih
luas
|
2
|
Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang
telah ditetapkan
|
Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan
pertanyaan dan ide-ide siswa
|
3
|
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan
pada buku teks dan buku kerja
|
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan
pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan
|
4
|
Siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang
dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru menggunakan cara didaktik dalam
menyampaikan informasi kepada siswa
|
Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang
dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya
|
5
|
Penilian hasil belajar atau pengetahuan siswa
dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir
pelajaran dengan cara testing
|
Pengukuran proses dan hasil belajar siswa
terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati
hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan
|
6
|
Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri,
tanpa ada group proses dalam belajar
|
Siswa-siswa banyak belajar dan
bekerja di dalam group proses
|
7
|
Memandang pengetahuan adalah objektif, pasti,
tetap, dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi
|
Memandang pengetahuan adalah non objektif,
bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu
|
8
|
Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan
mengajar adalah memindahkan pengetahuan
|
Belajar adalah penyusunan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah menata
lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna
|
9
|
Kegagalan dalam menambah pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum
|
Kegagalan merupakan interpretasi yang berbeda
yang perlu dihargai
|
10
|
Evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban
benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajar
|
Evaluasi menggali munculnya berfikir
divergent, pemecahan ganda, dan bukan hanya satu jawaban benar
|
11
|
Evaluasi dipandang sebagai bagian terpisah
dari kegiatan pembelajaran, biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan
belajar dengan menekankan pada evaluasi individu
|
Evaluasi merupakan bagian utuh dari
pembelajaran dengan cara memberikan tugas-tugas yang bermakna serta
menerapkan apa yang dipelajari yang menekankan pada keterampilan proses
|
Bagan
2.1. Perbedaan pembelajaran behavioristik (tradisional) dengan konstruktivistik
Sumber : Aqib,
(2002:120), Budiningsih, (2005:63)
Konstruktivisme berawal dari pandangan
kognitivisme. Kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil
belajarnya. Kognitivisme mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan
oleh pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya.
Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat
terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Pandangan kognitivisme menyatakan
bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan
informasi, emosi, dan aspek kejiwaan lainnya dimana pengetahuan yanag diterima
disesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki seseorang berdasarkan
pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
Berikut komparasi teori behavioris,
kognitif, dan konstruktivis
Behavioris
|
Kognitif
|
Konstruktivis
|
Belajar merupakan perubahan tingkah laku
yang dapat diamati dan perilaku tersebut dapat dikuatkan atau dihentikan
melalui ganjaran atau hukuman
Pengajaran direncanakan dengan menyusun
tujuan instruktional yang dapat diukur dan diamati
Guru tidak perlu tahu pengetahuan apa yang
telah diketahui dan apa yang terjadi pada proses berfikir seseorang
|
Belajar merupakan pelibatan penguasaan atau
penataan kembali struktur kognitif dimana
seseorang memproses dan menyimpan informasi
Semua gagasan dan citraan (image)
diwakili dalam skema
Jika informasi sesuai dengan skema akan
diterima, jika tidak akan disesuaikan atau skema yang disesuaikan
|
Belajar merupakan pembangunan pengetahuan
berdasarkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya
Belajar merupakan penafsiran seseorang
tentang dunia
Belajar merupakan proses aktif melalui
interaksi atau kerja sama dengan orang lain
Belajar perlu disituasikan dalam latar
(setting) yang nyata
|
Bagan
2.3. Komparasi teori behavioris, kognitif, dan konstruktivis
Sumber :
Yuleilawati (2004, 52-54)
Suatu hal yang sangat penting dalam
pembelajaran konstruktivisme adalah menghubungkan materi dengan kehidupan nyata
siswa. Ketika pokok bahasan proklamasi kemerdekaan Indonesia maka guru dapat
menghubungkan manfaat proklamasi yang dirasakan oleh orang-orang yang tinggal
di lingkungan siswa pada waktu itu, seperti bahasa, agama, kebebasan berbicara,
dan kebudayaan.
Dalam melaksanakan pendekatan konstruktivisme
guru sejarah hendaknya dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, mendorong dan menerima otonomi dan
inisiatif siswa dalam mengembangkan materi pembelajaran.
Kedua, menggunakan data mentah dan sumber
utama (primary resaurces), termasuk sumber-sumber pelaku utama sejarah untuk
dikembangkan dan didiskusikan bersama-sama dengan siswa di kelas.
Ketiga, memberikan tugas kepada siswa untuk
mengembangkan klasifikasi, analisis, melakukan prediksi terhadap peristiwa
sejarah, dan menciptakan konsep-konsep baru.
Keempat, bersifat fleksibel terhadap
renponse dan interpretasi siswa dalam masalah-maslah sejarah, bersedia mengubah
strategi pembelajaran yang tergantung pada minat siswa, serta mengubah isi
pelajaran sesuai dengan situasi dan kondisi siswa.
Kelima, memfasilitasi siswa untuk memahami
konsep sambil mengembangkannya melalui dialog dengan siswa.
Keenam, mengembangkan dialog antara guru dan
siswa dan antara siswa dengan rekan-rekannya.
Ketujuh, Menghindari penggunaan alat tes
untuk mengukur keberhasilan siswa.
Kedelapan, mendorong siswa untuk membuat
analisis dan elaborasi terhadap masalah-masalah kontroversial yang dihadapinya.
Kesembilan, mengembangkan aspek kontradiksi
dan kontroversi untuk ditarik dalam KBM di kelas.
Kesepuluh, memberi peluang kepada siswa
untuk berfikir mengenai masalah yang dihadapi siswa.
Kesebelas, memberi peluang kepada siswa
untuk membangun jaringan konsep serta membentuk metaphora. (Supriatna,
2001: 29-34).
8.2). Metode Mengajar Guru dalam Pendekatan
Konstruktivisme
Menurut Hamalik (2003:2) metode mengajar adalah
suatu cara, teknik atau langkah-langkah yang akan ditempuh dalam proses belajar
mengajar. Sedangkan Roestiyah (2001:1) Metode mengajar adalah teknik penyajian
yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa
di dalam kelas agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami dan digunakan
oleh siswa dengan baik.
Ada berbagai metode yang dapat digunakan guru
dalam kegiatan pembelajaran, diantaranya; ceramah bervariasi, tanya
jawab, diskusi, pemberian tugas, bermain peran, karyawisata,
inquiry, kerja kelompok, discovery, demonstrasi. Karena keterbatasan
kemampuan dan waktu maka tidak akan semua metode dapat digunakan. Namun yang
terpenting adalah penggunaan metode harus dikaitkan dengan situasi dan tujuan
belajar yang hendak dicapai dan ditekankan kepada keaktifan siswa dalam
membangun pengetahuan.
Penjelasan metode-metode tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Tanya Jawab (questioning)
Bertanya (questioning) merupakan
strategi atau metode utama lainya dalam pendekatan konstruktivisme untuk
mengukur sejauh mana siswa dapat mengenali konsep-konsep pada topik pelajaran
yang akan dipelajari. Bertanya dalam sebuah pembelajaran dipandang sebagai
kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir
siswa. Dalam pembelajaran yang berbasis inquiry, kegiatan bertanya
merupakan bagian yang sangat penting untuk menggali informasi,
mengkonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian
pada hal-hal yang belum diketahuinya.
Kegiatan bertanya sangat berguna dalam
pembelajaran yang produktif seperti dikemukakan Nurhadi (2003: 14) berikut ini:
1. menggali informasi, baik administrasi maupun
akademis
2. mengecek pemahaman siswa
3. membangkitkan respon kepada siswa
4. mengetahui sejauh mana keinginan siswa
5. mengetahui hal-hal yang sudah diketahui
siswa
6. memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu
yang dikehendaki guru
7. membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan
dari siswa
8. menyegarkan kembali pengetahuan siswa
b. Penyelidikan/Menemukan (Inquiry)
Berikut
adalah langkah-langkah inkuiri menurut beberapa ahli diantaranya adalah; Hasan,
Said Hamid (1996 :14) :
langkah-langkah inkuiri adalah :
1) Perumusan masalah,
2) pengembangan hipotesis,
3) pengumpulan data,
4) pengolahan data,
5) pengujian hipotesis,
6) penarikan kesimpulan.
Menurut Dahlan (1990:169) langkah-langkah
inkuiri adalah
1)
orientasi, 2) hipotesis, 3) definisi, 4)
eksplorasi, 5) pembuktian, 6) generalisasi.
Sedangkan menurut Joyce & Weil
(2000:473-475) mengemukakan langkah-langkah inkuiri sebagai berikut :
1) penyajian masalah,
2) pengumpulan data dan verifikasi data,
3) mengadakan eksperimen dan pengumpulan data,
4) merumuskan penjelasan,
5) mengadakan analisis tentang proses inkuiri.
Menurut Nurhadi (2003:13): adalah
1) Merumuskan masalah,
2) Mengamati dan melakukan observasi,
3) Menganalisis dan meyajikan hasil tulisan,
gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya,
4) Mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil
karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.
c. Komunitas Belajar (Learning Community)
Komunitas belajar atau belajar kelompok adalah
pembelajaran dengan bekerjanya sejumlah siswa yang sudah terbagi kedalam
kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan tertentu secara bersama-sama
(Moejiono,1991/1992:60). Pengembangan pembelajaran dalam kelompok dapat
menumbuhkan suasana memelihara disiplin diri, dan kesepakatan berperilaku.
Melalui kegiatan kelompok terjadi kerja sama antar siswa, juga dengan guru yang
bersifat terbuka. Belajar berkelompok dapat dijadikan arena persaingan sehat,
dan dapat pula meningkatkan motivasi belajar para anggota kelompok.
9. Teori Belajar Yang Mendukung Pendekatan
Konstruktivisme
Teori belajar pada dasarnya merupakan suatu
teori yang menjelaskan bagaimana siswa-siswa belajar, meliputi kesiapan
belajar, proses mental, dan apa yang dilakukan siswa pada usia tertentu.
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan
merupakan hasil bentukan sendiri, oleh karenanya tidak ada transfer pengetahuan
dari seorang ke orang lain, sebab setiap orang membangun pengetahuannya
sendiri. Bahkan bila guru ingin memberikan pengetahuan kepada siswa, maka
pemberian itu diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalamannya.
Inti dari konstruktivisme di atas berkaitan
erat dengan beberapa teori belajar, yaitu; teori perubahan konsep, teori
belajar bermakna Ausubel, dan teori Skemata (Suparno, 1997 :49). Namun menurut
peneliti pembelajaran konstruktivisme juga berkaitan dengan teori belajar
Bruner.
Penjelasan dari masing-masing teori tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Teori Belajar Perubahan Konsep
Agar terjadi perubahan radikal (akomodasi)
dibutuhkan beberapa keadaan dan syarat sebagai berikut :
1. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang
telah ada. Siswa mengubah konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang
lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman, dan gejala
yang baru.
2. Konsep yang baru harus dapat dimengerti, rasional,
dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena yang baru.
3. Konsep yang baru harus masuk akal, dapat
memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan
teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
4. Konsep baru harus berdaya guna bagi
perkembangan penelitian dan penemuan yang baru. (Suparno, 1997 :50-51).
2. Teori Belajar Bermakna Ausubel
Kedekatan teori belajar bermakna Ausubel dengan
konstruktivisme adalah keduanya menekankan pentingnya mengasosiasikan pengalaman,
fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dimiliki,
keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau
pengertian yang sudah dimiliki siswa, dan keduanya mengasumsikan adanya
keaktifan siswa dalam belajar.
3. Teori Skema
Belajar menurut teori skema adalah mengubah
skema (Suparno, 1997:55). Lebih jauh ia menyatakan :
Orang dapat membentuk skema baru dari suatu
pengalaman baru. Orang dapat menambah atribut baru dalam skemanya yang lama.
Orang dapat melengkapi dan memperluas skema yang telah dimilikinya dalam
berhadapan dengan pengalaman, persoalan, dan juga pemikiran yang baru. Biasanya
seseorang bila menghadapi pengalaman baru yang tidak cocok dengan skema yang
dimilikinya, ia akan mengubah skema lamanya. Dalam proses belajar siswa
mengadakan perubahan skemanya, baik dengan menambah atribut, memperluas,
memperhalus, ataupun mengubah sama sekali skema lama.
4. Teori Belajar Bruner
Menurut Bruner (
http://www.jaring.com.my/weblog/comments.php?id=3603 )
“pembelajaran adalah proses yang aktif dimana
pelajar membina ide baru berasaskan pengetahuan yang lampau”. Selanjutnya
Bruner (Nur, 2000:10) menyatakan bahwa “mengajarkan suatu bahan kajian kepada
siswa adalah untuk membuat siswa berfikir untuk diri mereka sendiri, dan turut
mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan. Mengetahui adalah suatu
proses bukan suatu produk”. Masih menurut Bruner (Dahar, 1997:98) bahwa dalam
membangun pengetahuan di dasarkan kepada dua asumsi yaitu :asumsi pertama
adalah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif yaitu orang yang
belajar akan berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak
hanya terjadi dilingkungan tatapi juga dalam diri orang itu sendiri. Asumsi
kedua adalah orang yang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan
informasi yang masuk dengan informasi yang tersimpan yang diperoleh sebelumnya.
Menurut Bruner, dalam proses belajar terdapat
tiga episode yang harus dilalui anak, yakni
(1)
‘informasi, (2) transformasi, (3) evaluasi.
Ketiga episode itu dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Informasi. Dalam tiap pelajaran siswa akan memperoleh
sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan yang telah dimiliki, ada yang
memperhalus dan memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa
yang telah diketahui sebelumnya.
Transformasi. Informasi
harus dianalis, diubah atau ditransformasi kedalam bentuk yang lebih abstrak
atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal
ini bantuan guru sangat diperlukan.
Evaluasi. Informasi yang diperoleh tersebut dinilai untuk
dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain. (Nasution, 1987:9).
DAFTAR
PUSTAKA
Aqib, Z. (2002). Profesionalisme Guru Dalam
Pembelajaran. Surabaya : Insan Cendikia.
Bruner, J (1998). Contructivist Theory.
[online] Tersedia:
http://www.jaring.com.my/weblog/comments.php?id=3603
[25 Maret 2006].
Budiningsih, C.A. (2005). Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004, Standar
Kompetensi Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas dan Madrasah
Aliyah. Jakarta : Depdiknas. 24
Depdiknas. (2005). Peningkatan Kualitas
Pembelajaran. Jakarta : Dirjen Dikti. Direktorat Pembinaan Pendidikan
Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.
Hopkins, D. (1993). A Teacher's Guide to
Classroom Research. Philadelphia Open University Press.
Karli, H. dan Yuliariatiningsih, M.S. (2003). Model-Model
Pembelajaran. Bandung : Bina Media Informasi.
Kasbolah, K., (1999). Penelitian Tindakan
Kelas (PTK), Jakarta: Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Dirjen Dikti,
Depdikbud.
Nurjanah, N (2005). Penerapan Model
Konstruktivisme dalam Pembelajaran Menulis Bahasa Indonesia. Disertasi PPS
UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Piaget. (1981) The psychology of
Intelligence.Totawa: Littlefield, Adam & Co.
------- (1971). Psychology and Epistemology.New
York:The Viking Press.
Poedjiadi, A. (2005). Sains Teknologi
Masyarakat; Model Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Nilai. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Rozak, A. (2001). Penerapan Model Pembelajaran
Konstruktivistik sebagai Upaya Memperluas
Siroj, R. A, (2004). Pemerolehan Pengetahuan
Menurut Pandangan Konstruktivistik. [online]. Tersedia:
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/43/rusdy-a-siroj.htm [25-3-2006]
Suparno, P. (2001). Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.
Surya, M., (2003). Psikologi Pembelajaran
dan Pengajaran. Bandung: Yayasan Bhakti Winaya.
Yulaelawati, E. (2004). Kurikulum dan
Pembelajaran; Filosofi, Teori dan Aplikasi. Jakarta : Pakar Raya.
Zuriah, N. (2003). Penelitian
Tindakan Dalam Bidang Pendidikan dan Sosial. Malang: Bayumedia Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar